Fenomena Ru'yah dan Hilal | INDAHNYA SALING BERBAGI

Sunday, July 7, 2013

Fenomena Ru'yah dan Hilal


Fenomena Ru'yah dan Hilal

Yuk kita belajar tentang ru’yah dan hisab jadi nanti kita tidak bingung apabila menyaksikan sidang itsbat.Sebelum menginjak pada permasalahan ru`yah dan hisab, ada baiknya kita memahami hukum penentuan awal bulan secara umum.
Para Ulama merumuskan ada 2 macam cara untuk menentukan awal bulan Ramadhan. Ada yang secara umum (meliputi seluruh penduduk daerah) dan ada yang secara khusus.
Yang pertama yaitu secara umum adalah dengan cara menyempurnakan sya’ban 30 hari, yang kedua dengan mendengar kesaksian hilal dari orang yang terpercaya. Dengan kedua metode diatas maka seluruh penduduk daerah tersebut wajib berpuasa.
Yang kedua adalah cara khusus yaitu apabila ada seseorang yang tidak diterima kesaksiannya melihat hilal maka dirinya wajib puasa. Kemudian metode yang berikutnya adalah dengan berita terlihatnya hilal, apabila yang mengabarkan orang yang terpercaya maka wajib puasa semua warga baik dia mempercayai atau tidak. Apabila yang mengabarkan tidak terpercaya maka tidak wajib puasa kecuali apabila kita mempercayainya.
METODE RU’YAH
Metode yang digunakan pemerintah dalam menentukan awal bulan adalah ru’yatul hilal (pengamatan hilal dengan kasat mata), yakni terlihat bulan diatas ufuk setelah ijtima’/konjungsi. Metode ini mempunyai pengaruh yang lebih kuat dibanding metode hisab. Para ulama bahkan bersepakat bahwa penentuan awal bulan yang didapat melalui ru’yatul hilal dapat diamalkan untuk memulai puasa ramadlan serta mengakhirinya. Dan untuk menetapkan hari raya, pemerintah memakai patokan imkanur rukyah, Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.
• Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
• Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
• Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda
Perhitungan teoritis ini penting karena patokan pemerintah sebenarnya adalah rukyah (pengamatan mata), sedangkan hisab hanya membantu saja. Kalau ada yang melihat hilal berarti besoknya hari raya kalau tidak ada ya besoknya belum hari raya. Dan apabila hasil hisab bertentangan dengan hasil ru’yatul hilal, maka yang lebih didahulukan adalah hasil ru’yatul hilal. Kecuali jika sekurang-kurangnya lima hasil perhitungan hisab dari kitab yang berbeda, menyimpulkan hilal tidak akan terlihat, maka laporan seseorang kepada hakim setempat perihal terlihatnya bulan harus di tolak karena berlawanan dengan yang didapat melalui metode hisab. Demikian menurut pendapat Imam As-Subki.
METODE HISAB
Adapun metode hisab adalah dengan memakai patokan wujudul hilal atau adanya hilal di atas ufuk. Patokan ini berarti berapa pun ketinggian hilalnya, meskipun nol koma sekian derajat, asal sudah di atas ufuk/horizon (gampangnya: hilalnya tenggelam belakangan dari matahari setelah waktu konjungsi) berarti malam itu sudah bulan baru atau sudah 1 Syawal sehingga besoknya hari raya bisa dilakukan. Dengan kata lain, patokan yang dipakai metode ini adalah hisab yang secara murni sedangkan rukyah hanyalah pendukung saja yang tidak harus diperlukan. Yang penting adalah hakikat posisi hilal/bulan baru secara astronomis, tanpa mempedulikan hilal tersebut bisa teramati mata atau tidak. Dasar dari pada metode ini adalah pendapat Imam Muthorrif bin ‘Abdullah, Abu al-‘Abbas bin Surayj dalam mengartikan hadits Rasulullah SAW:
إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ
“Jika kalian melihat hilal - Ramadan - maka berpuasalah, dan jika melihat hilal - Syawal - maka berbukalah, dan jika terlihat mendung diatas kalian, maka kira-kirakanlah.” HR.Bukhori dan Muslim.
Beliau berkata: “Makna kalimat فَاقْدُرُوا لَهُ yang dimaksud adalah mengira-ngirakan keberadaan hilal dengan metode hisab”.
Ulama lain berpendapat bahwa kalimat melihat dalam Hadits diatas bisa berarti wujudnya hilal di ufuk yang memungkinkan untuk terlihat, meskipun pada kenyataannya tidak terlihat karena terhalang mendung misalnya.
Ormas Islam, perkumpulan, atau lembaga-lembaga diluar pemerintah, dalam pandangan fiqh, tidak mempunyai wewenang apapun untuk menentukan/itsbat kapan datangnya awal bulan. Ketetapan pemerintah/itsbat mempunyai kekuatan hukum yang berlaku kepada seluruh warganya. Artinya, apabila pemerintah telah menetapkan kapan jatuhnya hari raya idul fitri atau awal ramadlan, maka ketetapan tersebut berlaku secara umum.
Bagi siapapun juga yang memulai ramadhan dan berhari raya tanpa mengikuti ketetapan pemerintah, seharusnya kegiatan yang berhubungan dengan syiar hari raya tidak di tampakkan kepada orang banyak, misalnya takbiran menggunakan pengeras suara di masjid, surau atau di jalan-jalan. Karena sangat berpotensi untuk menjadikan masyarakat semakin bingung dan terpecah belah. Mari kita jaga bersama persatuan dan kesatuan bangsa.

0 comments:

Post a Comment